Minggu, 18 Oktober 2009

ikan di dasar laut

Minggu, 3 Desember 2006

Memiliki wilayah yang luas-hampir sebanding dengan daratan Amerika Serikat-bagi Indonesia ada untung ruginya. Dilihat fisiknya sebenarnya hanya sepertiga wilayah negeri ini yang berada di atas permukaan laut berupa belasan ribu pulau besar kecil. Dengan begitu sangat sedikit potensi lahan bisa termanfaatkan penduduknya yang begitu padat. Karena dipisahkan laut, mobilitas mereka pun menjadi terbatas.

Namun di balik itu, di dalam perairan yang mencakup sebagian besar wilayahnya, negeri Nusantara ini memiliki potensi kelautan yang melimpah.

Selama ini baru potensi perikanan yang banyak menjadi perhatian dan sasaran eksploitasi karena dekat dengan permukaan laut dan pantai. Bagaimana dengan sumber daya alam yang berada di dasar laut? Sayangnya itu masih banyak yang menjadi misteri dan tanda tanya. Salah satu pertanyaan tentang dasar laut Indonesia adalah yang berkaitan dengan rangkaian gunung api dan patahan lapisan permukaan Bumi.

Bila di wilayah daratan Indonesia ada jajaran gunung api yang berjajar melingkar dari Sumatera hingga ke Maluku dan Sulawesi Utara serta munculnya sesar-sesar yang terbentuk akibat interaksi tiga lempeng tektonik dunia, maka apakah di laut pun terjadi hal yang sama.

Lalu bila aktivitas gunung api yang memuntahkan material magma dari perut Bumi ke permukaan, yang antara lain berupa bahan mineral termasuk emas, apakah gunung api didasar laut-jika ditemukan- berperilaku sama.

Yang terpenting adalah mengetahui sumber daya alam di bawah laut itu. Dilihat dari sumber migasnya saja, Indonesia diketahui memiliki 60 cekungan minyak dan gas bumi, yang diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 miliar barrel minyak. Dari jumlah cekungan itu, 40 cekungan terdapat di lepas pantai dan 14 cekungan lagi ada di pesisir.

Meski cadangan minyak dan gas bumi Indonesia tergolong besar, seperti dikemukakan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri beberapa waktu lalu, cadangan ini tersebar pada lokasi perairan yang terpencil. Saat ini, masih ada sekitar 22 cekungan yang belum diteliti atau dieksplorasi kandungannya.

Untuk menjawab semua itu, lembaga riset di Indonesia melaksanakan serangkaian ekspedisi geologi kelautan dengan melibatkan peneliti asing. Di antaranya yang paling akhir adalah dua ekspedisi yang diberi nama Bandamin dan IASSHA. Tujuan penelitian itu, menemukan gunung-gunung api bawah laut dan dikaitkan dengan potensi mineral logam hidrotermal di dasar laut.

Ekspedisi dasar laut

Ekspedisi Bandamin pertama kali dilakukan tahun 2001 dengan menggunakan kapal riset BPPT, Baruna Jaya IV. Ekspedisi pertama yang dipimpin Dr Safri Burhanuddin dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (selaku Koordinator Peneliti Indonesia) dan Peter Harbach (Ketua Tim Peneliti Jerman) dilakukan di sekitar perairan Pulau Flores dan Wetar Nusa Tenggara Timur. Tujuannya untuk meneliti adanya sumber hidrotermal di dasar laut.

Penelitian dasar laut di wilayah Flores itu menarik minat geolog kelautan karena di daerah ini memiliki sistem pertemuan lempeng India-Australia, Pasifik dan Eurasia yang rumit. Dari penelitian diketahui adanya serangkaian gunung api di dasar laut di sekitar pulau vulkanik Komba yang terbentuk akibat interaksi antarlempeng tersebut. Ekspedisi ini menemukan dua gunung di dasar laut yang diberi nama Abang Komba dan Anak Komba.

Ekspedisi ini kemudian dilanjutkan bulan Agustus tahun ini dengan kapal riset LIPI, Baruna Jaya VIII, juga melibatkan peneliti dari Jerman. Ekspedisi Geologi Laut Bandamin II dilaksanakan oleh Tim Indonesia-Jerman di wilayah Laut Flores-Laut Banda, di sekitar Pulau Komba, Nusa Tenggara Timur.

Pemimpin ekspedisi kali ini Dr Lili Sarmili dari Puslit Geologi Kelautan. Selain diikuti peneliti dari Departemen Kelautan dan Perikanan, juga melibatkan peneliti dari ITB, Universitas Padjadjaran, UPN Veteran Yogyakarta, dan Universitas Trisakti.

Pada Ekspedisi Bandamin II selama dua minggu (14-28 Agustus 2003), mereka melakukan serangkaian penelitian yang survei batimetri, pengukuran konduktivitas, suhu dan kedalaman (CTD), pengambilan contoh batuan dari dasar laut, serta pemotretan kondisi bawah laut. Tim ekspedisi ini juga mendarat di Pulau Komba untuk mengadakan pengukuran- pengukuran geologi struktur di Gunung Komba.

Dari riset itu ditemukan lagi gunung api baru yang disebut Baruna Komba. Selain itu dari pengambilan sampel batuan didasar laut pada kedalaman 500-600 meter di bawah permukaan laut, di sekitar gunung api tersebut ditemukan batuan yang mengandung andesit, dan basalt. Batuan terbentuk akibat proses hidrotermal melalui proses silisifikasi dan kloritifikasi. Selain itu, teridentifikasi adanya mineral-mineral sulfida pirit, barit, dan markasit.

Kehadiran mineral logam ini merupakan indikator kemungkinan terbentuknya mineral- mineral logam lain yang memiliki nilai ekonomis, seperti emas dan perak. Dugaan tersebut mengacu pada temuan sebelumnya yang dilakukan peneliti dari Australia di dasar Laut Bismarck, sebelah utara Papua Niugini. Di lokasi itu ditemukannya endapan hidrotermal cerobong (chimney deposit) pada gunung-gunung api bawah laut, yang mengandung mineral, seperti emas, perak, tembaga, seng dan timbel.

Untuk lebih memastikan hal itu, para peneliti melakukan analisis lebih lanjut di laboratorium terhadap berbagai sampel batuan yang diambil itu untuk mengetahui potensi kadar mineral logam mulia tersebut. Penelitian tersebut akan dilakukan di laboratorium geokimia di milik lembaga riset terkait di Indonesia dan Jerman.

Ekspedisi IASSHA

Ekspedisi Indonesia-Australia Survey for Submarine Hydrothermal Activity (IASSHA) di sekitar Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, pada tahun 2001 telah menghasilkan temuan yang memiliki nilai ilmiah berarti. Penelitian kelautan ini dilaksanakan LIPI bekerja sama dengan BRKP-DKP dan CSIRO Australia.

Bagi para peneliti, dasar Laut Sulawesi dan Laut Banda merupakan lokasi yang memiliki daya tarik tinggi. Karena berdasarkan penelitian sebelumnya diperkirakan adanya endapan minyak dan gas dalam jumlah potensial, diperkirakan 6,6 miliar meter kubik.

Menurut dugaan Dr Yusuf Surahman, Direktur Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (TISDA) BPPT beberapa waktu lalu, kandungan mineral yang bernilai ekonomis akan ditemukan dalam jumlah potensial di perairan utara Sulawesi dan Maluku karena topografi dasar lautnya sama dengan di Papua Niugini yang telah diketahui kaya akan sumber mineral dasar laut. Sumber tambang dasar laut di Papua Niugini mengandung tembaga, seng, plumbum, emas, dan perak. Eksploitasinya mencapai 200 ton per hari.

Wilayah utara perairan Sulawesi, Maluku, dan Irian merupakan daerah subduksi antara dua lempeng benua Eurasia dan Pasifik. Interaksi ini menyebabkan terbentuknya gunung-gunung api. Sumber mineral dasar laut ditemukan di daerah hidrotermal atau

Di daerah keluarnya cairan magma dari perut Bumi terjadi mineralisasi karena tercampur dengan air laut. Mineral itu bertumpuk-tumpuk di mulut magma menghasilkan puncak gunung yang runcing dan menjulang tinggi, pada kedalaman sekitar 2.000 hingga 4.000 meter dari permukaan laut.

Dalam ekspedisi IASSHA I yang dipimpin Dr Haryadi Permana, dari Puslit Geoteknologi LIPI, berhasil ditemukan sumber-sumber emas di dasar laut Sangihe Talaud. Potensinya ditaksir berkisar 0,5 hingga 1 gram per ton batuan. Selain menemukan sumber logam mulia itu, juga diketahui adanya sumber mineral logam hidrotermal lainnya, yaitu perak, tembaga, seng dan timbal.

Ekspedisi geologi kelautan yang menggunakan kapal Baruna Jaya VIII milik LIPI itu bertujuan untuk mengetahui aktivitas hidrotermal dan endapan mineral di dasar laut, dengan melibatkan 25 ilmuwan dari Indonesia dan tujuh ilmuwan Australia.

Pengambilan sampel dalam ekspedisi IASSHA 2001, jelas Haryadi, dilakukan hanya di satu spot dan analisis dari pengukuran batimetri masih sangat kasar. Karena itu, masih diperlukan penelitian yang intensif untuk memperkirakan cadangan mineral di lokasi tersebut.

Ekspedisi lanjutan

Untuk itu bulan Agustus lalu LIPI menggelar ekspedisi IASSHA 2003 di lokasi yang sama. Pada ekspedisi yang juga dipimpin Haryadi penelitian dilakukan di areal yang lebih luas. Analisis batuan yang diambil di dasar laut sekitar Sangihe Talaud, jelas Haryadi, yang dihubungi Kompas, Selasa (18/11), belum selesai dilakukan. Analisis sampel batuan dasar laut itu dilakukan di Kanada. Namun ditambahkan dari batuan itu ada indikasi terjadinya mineralisasi.Pada Ekspedisi IASSHA 2003, yang melibatkan peneliti dari Australia, ditemukan pula gunung api bawah laut di dekat Kepulauan Kawio, Sulawesi Utara. Pulau itu diberi nama Anak Kawio.

Setahun sebelumnya dilaksanakan IASSHA 2002 di Selat Sunda pada daerah tujaman dan sobekan pada pertemuan lempeng benua di lokasi tersebut. Dari penelitian itu diketahui tidak ditemukan adanya hidrotermal aktif. Namun, tim ilmuwan menemukan adanya indikasi emas di Teluk Semangko dekat gunung api bawah laut yang sudah tidak aktif lagi. Gunung itu dekat dengan Pulau Tabuan Air disebut Gunung Tabuan Air. Kandungan emas di lokasi itu sekitar 5 part per billion atau 0,5 gram per ton. (yun)

Sumber : Kompas (19 November 2003)

Sabtu, 17 Oktober 2009

KEHIDUPAN DASAR LAUT


“Ini penyelaman paling sulit,” kata Rory McAvely, pimpinan Operasi Wallacea periode Oktober – November 1996, sehabis menyelam di perairan utara P. Hoga. Pada kedalaman antara 10 m dan 15 m, arus kuat mengempas dari arah depan. Delapan penyelam yang ikut berpartisipasi dalam survai kelautan dibuat tidak berdaya. Belum sempat berbalik arah, muncul arus dari atas mendorong paksa ke dasar laut. Mak peng, gendang telinga serasa ditampar karena tekanan di dalam air berubah mendadak. Saat datang lagi arus kuat dari arah samping kanan dan kiri, kami yang menyelam berpasang-pasangan kocar-kacir. Target menyelam sedalam 25 m di bawah permukaan laut gagal.

“Jangan berkecil hati, dengan pengalaman ini kamu akan mampu menyelam lebih baik di tempat lain. Arus sangat kuat membuat kita sulit mengendalikan arah,” ujar Rory membesarkan hati saya. Arus di perairan Kepulauan Wakatobi (Pulau Wangi-wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, P. Binongko), Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, memang cukup ganas. Gugusan 13 pulau dan 7 atol itu dulu lebih dikenal sebagai Kepulauan Tukangbesi, di sisi barat Laut Banda.

Terpilihnya kawasan Wakatobi sebagai lokasi survai kelautan karena terumbu karangnya beragam jenis dan masih asli. Selain bisa menjadi lokasi penyelaman kelas dunia, sebagian besar kehidupan bawah laut di kawasan ini bersifat endemis. Ikan paus, hiu, lumba-lumba, ikan pari, berbagai jenis ikan dan hewan lain serta tumbuhan hidup berdampingan dengan beraneka jenis karang.

“Sekitar 35% dari jumlah spesies ikan di dunia berada di kawasan Wallacea, meliputi perairan sekitar Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara sampai Timor Timur. Berbagai jenis ikan berbiak di sana, sebelum menyebar ke mana-mana,” kata Michael Ferris, dari Dinas Perikanan Australia Barat berkedudukan di Perth, yang ambil bagian dalam Operasi Wallacea.

Operasi Wallacea diambil dari nama Alfred Russel Wallace, ilmuwan Inggris yang pertama kali mengumumkan bahwa hewan yang hidup di Sulawesi, Halmahera, dan Sunda Kecil amat berbeda dengan binatang yang hidup di Kalimantan, Bali, dan Irian, meski secara geografis berdekatan. Operasi ini merupakan proyek kerja sama antara Yayasan Pengembangan Wallacea (Jakarta), Departemen Kehutanan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslitbang Biologi dan Oseanologi) dan Ecosurveys Ltd. (Inggris).

Proyek nirlaba ini diprakarasai Hongkong Bank melalui program Care-for-Nature sebagai upaya perlindungan dan pelestarian alam. Sesungguhnya merupakan survai ekologi, meliputi survai burung di P. Buton dan survai terumbu karang di perairan Wakatobi, yang berlangsung selama tiga tahun (1995 – 1997). Ahli burung dan ahli biologi kelautan, dibantu tenaga sukarela dari seluruh dunia mengumpulkan data berbagai macam hewan dan tumbuhan yang teracam kepunahan. Survai kelautan mengumpulkan data mengenai status dan persebaran terumbu karang dan ikan di perairan Kepulauan Wakatobi. Data yang terkumpul akan digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk prasarana pembentukan cagar alam hewan liar dan terumbu karang di Sulawesi Tenggara.

Kursus kilat menyelam
Sejak Juni 1995 sampai awal November 1996, sekitar 150 penyelam relawan dari 19 negara berpartisipasi dalam Operasi Wallacea. Kebanyakan dari Eropa, lalu Selandia Baru, Australia, AS, Kanada, dan Asia (Malaysia, Singapura). Dari Indonesia sedikit yang berminat menjadi penyelam relawan. Sejauh ini baru tercatat tiga orang.

Hoga, pulau kecil dan indah dengan separuh lebih pantainya berpasir putih, menjadi base camp Operasi Wallacea. Letaknya jauh dari ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari, + 15 jam ditempuh Motor Vessel (MV) Empress, kapal motor pendukung Operasi Wallacea berkecepatan 9 knot. Selama survai para ilmuwan bidang kelautan dan penyelam tinggal di sebuah bangunan panggung berkapasitas 20-an orang.

Ruang terbuka di lantai atas rumah panggung yang dilengkapi tiga buah kursi kayu panjang dan meja panjang dipakai untuk tempat “kursus kilat”. Belasan penyelam asing dengan serius mendengarkan pengarahan dan penjelasan dari para ilmuwan bidang kelautan dari Inggris, Jerman, dan Australia, dibantu ahli kelautan dari LIPI. Briefing dan training diberikan selama empat hari, meliputi pengenalan atau indentifikasi jenis biota laut (karang, spesies ikan, tumbuhan dasar laut, dsb.), juga tentang metode survai. Adakalanya disertai dengan presentasi visual lewat gambar slide. Juga diajari menaksir ukuran ikan di dalam air. Maklum mereka umumnya bukan berlatar belakang ilmu kelautan.

Meski sudah mahir menyelam, para relawan juga memperoleh latihan menyelam untuk disetarakan dengan standar PADI (Profesional Association Diving Instructors) di bawah bimbingan instruktur selam yang rata-rata berpredikat master dengan ribuan jam selam.

Dengan bekal kursus kilat itu, para penyelam dianggap siap mencebur ke laut untuk melakukan pendataan di dasar laut, meski masih didampingi satu dua ahli kelautan. Mereka dibagi menjadi dua kelompok, yang secara bergantian menyelam di perairan sekitar P. Hoga dan di perairan terpecil tapi masih di kawasan Kepulauan Wakatobi.

Kegiatan penyelaman untuk survai dilakukan dua kali sehari, pukul 10.00 dan 14.00 Wita. Adakalanya juga menyelam pada malam hari di sekitar P. Hoga. Pada giliran menyelam di perairan sekitar pulau paling ujung selatan (+ 8 jam naik KM Empress dari Hoga), misal P. Cawo Cawo dan P. Moromaho, mereka mesti tinggal di atas KM Empress selama tiga hari tiga malam. Untuk mendukung survai terumbu karang yang letaknya terpencil, kapal motor berukuran 75 kaki ini dilengkapi alat penentu posisi yang mengandalkan satelit (GSP – Global Positioning System).

Tiap kali terjun ke dasar laut, selain mengenakan perlengkapan selam standar mereka dibekali peralatan untuk survai, seperti pita, “papan tulis” plastik berukuran 20 x 30 cm untuk mencatat data.

Penyelaman untuk pengumpulan data biota laut dilakukan pada kedalaman 5 m, 12 m, dan 18 m. Setiap kali survai dibutuhkan waktu sekitar 50 menit. Masing-masing pasangan penyelam langsung terjun pada kedalaman 18 m dan mulai melakukan pendataan selama 10 menit. Kemudian mereka bergerak ke kedalaman 12 m untuk mendata selama 2 x 10 menit, masing-masing mencakup bidang pengamatan sekitar 2 m ke atas dan 2 m ke bawah. Dua kali 10 menit terakhir, mereka melakukan pendataan pada kedalaman 5 m, sebelum kemudian muncul ke permukaan laut. Selain terumbu karang, jenis dan ukuran ikan, serta biota laut lain, mereka juga mengukur suhu dan salinitas air laut.

Masuk belantara laut
Menyelam ke dasar laut seolah-olah memasuki hutan belantara bawah laut. Berbagai jenis karang keras maupun lunak yang hidup berkoloni ataupun soliter membentuk seperti tajuk pepohonan. Dasar laut yang rata, landai, dan yang berupa cekungan membentuk ngarai-ngarai dengan dinding terjal bergua-gua.

Karang keras sebenarnya terbentuk oleh binatang-binatang kecil dan berumah sekeras batu karena tersusun dari lapisan kapur (kalsium karbonat). Berbeda dengan karang lunak yang lembek dengan nematosit untuk melumpuhkan mangsa. Dari bentuknya, ada karang bercabang-cabang, karang padat, karang kerak, karang meja, karang daun yang berlembar-lembar, dan karang jamur, dengan bermacam-macam ikan berseliweran di atasnya.

Di bawah sana ada kehidupan siang dan malam. Karang “siang” nampak indah pada siang hari. Umpamanya, Goneophora sp., jenis karang keras dengan tentakel (tangan) yang pada siang hari menjulur dan aktif menangkap plankton-plankton untuk dimangsa. Saat malam tiba, tentakel-tentakel itu disembunyikan di balik mangkuknya. Sementara ada karang yang bila disorot lampu di malam hari kelihatan biru menyala. Karang lunak Nepthya sp. lebih aktif pada malam hari. Millepora sp., jenis karang yang seakan-akan menyala pada bagian ujungnya.

Anemon yang memiliki zat beracun berkawan mesra dengan ikan anemon (Amphiprion sp.). Ikan-ikan kuning oranye dengan strip putih vertikal suka berenang di antara tentakel anemon. Di dasar laut berpasir nampak binatang merayap berbentuk bintang merah dan biru. Bintang laut biru (Linckia laevigata) juga bisa ditemui di perairan dangkal dan kelihatan jelas bila air surut. Hampir tidak dikenali, sejenis ikan mirip ikan sapu-sapu besar (Orectolobidae) ngumpet di bawah karang. Cacing laut dan macam-macam udang warna-warni merayap pelan di celah-celah dasar karang.

Sementara itu ikan kupu-kupu yang warna-warni indah menari-nari di sela-sela karang. Ikan jenis ini kebanyakan hidup di terumbu karang, dan beberapa mampu beradaptasi di perairan yang hangat dan dalam. Paling banyak terkonsentrasi di terumbu karang di perairan Indonesia. Misalnya, Chaetodon burgessi yang bergaris-garis hitam, C. ocellicandus dengan totol di bagian ekornya, dan C. melannotus dengan bagian punggung hitam.

Tingginya kadar garam dan bertambahnya kedalaman menjadikan air nampak keruh dan gelap. Di cekungan dasar laut yang lebih dalam, serombongan ikan besar kecil yang melintas di depan mata cuma kelihatan samar-samar. Kecuali jenis ikan emperor (Lethrinus microdon) karena bersisik putih mengkilap keperak-perakan.

Alga tak terhitung jenisnya; yang warna hijau, merah, merah kecoklatan. Jenis bunga karang (Porifera) juga warna-warni. Antara lain, Stylotella aurantium seperti rumah tawon, Acanthella klethra persis rumah rayap yang berwarna kuning.

Di balik keindahan sosok makhluk laut tidak sedikit yang beracun, adakalanya mengakibatkan luka fisik, bahkan mematikan. Karang api, contohnya, bisa melepuhkan kulit kalau tersentuh. Ikan aneh-aneh pun bisa jadi beracun. Ikan lepu yang menyaru di bawah karang keras, umpamanya, akan mengeluarkan racun yang berbahaya bila siripnya yang berumbai-rumbai tersentuh. Ikan jenis ini banyak hidup di perairan tropis Indo-Pasifik dari Afrika Selatan sampai Pasifik Barat, termasuk juga Asia Tenggara. Mereka hidup pada kedalaman 1 – 50 m. Biasanya di gua atau dekat kepala karang. Ada yang berlurik zebra, ada juga yang berwarna gelap.

Ular laut belang putih hitam (Laticauda sp.) melayang gemulai di dalam air kemudian buru-buru masuk di lubang karang. Ular ini sensitif selagi musim kawin dan menyerang bila diganggu. Kekuatan bisanya melebihi king cobra. Hiu kepala martil tergolong jenis ikan ganas. Dari 250 – 300 jenis hiu, terdapat 10 – 15 jenis tipe menyerang. Dengan sensor getar di dekat moncong hidungnya, ikan hiu mampu mengendus bau darah dari jarak berkilo-kilo meter. Ikan barakuda yang menyukai benda-benda mengkilap tanpa basa-basi akan langsung menyergap, berbeda dengan ikan hiu yang mengitari calon mangsanya sebelum menyerang. Beruntung kami tidak sempat ketemu ikan-ikan galak itu.

Rusak oleh bom napoleon
Perairan Wakatobi menjadi surganya berbagai jenis binatang dan tumbuhan laut. “Jenis ikan dan karangnya lebih bervariasi dibandingkan dengan tempat lain di Indonesia. Hanya saja arus di perairan Wakatobi lebih kuat dan berbahaya. Taman Laut Bunaken bagus, tapi di Hoga lebih beragam. Sponge, karang lunak, dan tumbuhan bawah laut lainnya kelihatan seperti hutan belantara,” komentar Don Hasman, fotografer senior dari Jakarta yang berpengalaman lebih dari seratus kali menyelam, antara lain di Bunaken, Kepulauan Seribu, Aceh, Banda, Great Barrier Reef di Queensland, Australia Timur, serta Laut Tengah di Turki, ketika mengikuti survai kelautan Operasi Wallacea.

Sayang sekali keindahan pemandangan di bawah laut Wakatobi diselingi kerusakan terumbu karang di sana sini akibat ledakan bom para pemburu ikan. Demi keuntungan pribadi, mereka menangkap ikan dengan menggunakan bom rakitan sendiri atau racun sianida yang bisa mengganggu kelangsungan hidup makhluk yang ada di dalamnya.

Ledakan bom di dalam air nyaris terdengar 2 – 4 kali dalam sehari. Perairan menjadi keruh. Banyak ikan mati dan terumbu karang berantakan. Mereka hanya mengenakan kacamata kedap air saat meletakkan bom pada kedalaman 8 – 15 m. “Ledakan bom bisa merusak habitat terumbu karang sampai radius 3 – 4 m. Terumbu karang hancur berpuing-puing,” jelas Sugiyanta, S.Si. yang sejak Juli 1996 oleh LIPI ditugaskan sebagai asisten ahli bidang kelautan pada Operasi Wallacea.

Dari beberapa lokasi yang telah disurvai, dijumpai terumbu karang hancur berantakan akibat ledakan bom yang terjadi sekitar 2 – 3 tahun terakhir. Berdasarkan data sementara dari survai terumbu karang sepanjang 350 km yang sudah diamati dari keseluruhan area sepanjang 600 km, kerusakan terumbu karang di kawasan area Operasi Wallacea mencapai rata-rata 16%. Untuk memulihkan kembali perlu waktu sangat lama, 20 – 30 tahun. Karena pertumbuhan karang amat lamban, 3 – 4 mm per tahun. Itu pun dengan syarat kondisi perairan mesti cukup baik, misalnya bebas pencemaran.

Kegiatan perusakan terumbu karang semacam itu masih tetap berlangsung secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Gara-garanya ikan napoleon yang bernilai komersial tinggi. Perusahaan kapal ikan lokal maupun asing menampung hasil tangkapan nelayan di Kepulauan Wakatobi kemudian mengekspornya hidup-hidup atau mati ke Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Di sana ikan napoleon, kerapu, dan juga lobster dijual sebagai hidangan lezat restoran Cina dengan harga sangat mahal. Malahan baru-baru ini Restoran Newton Court Seafood di kawasan Cause Bay, Hongkong, membeli ikan kerapu berbobot 230 kg seharga HK$ 80.000. Ikan yang ditangkap dari perairan Indonesia itu dipotong-potong dan dimasak untuk disajikan kepada para pengunjung restoran tersebut (South China Morning Post, 1 Desember 1996).

Mereka juga memburu hiu untuk diambil siripnya. Yang juga dieksploitasi dari perairan Wakatobi adalah tripang, kima (sejenis kerang raksasa), penyu, dan kepiting kenari atau kepiting kelapa (Birgus latro), yang umumnya untuk komsumsi lokal. Tapi belakangan ikan kupu-kupu diburu juga.

“Sebelum diekspor, ikan-ikan tersebut oleh perusahaan kapal ikan di bawa ke Ujungpandang. Berjibun ikan napoleon hidup dan juga ikan komersial lain ditampung dalam tambak besar,” tutur Sugiyanta yang sempat melacak ke sana.

“Dalam dua sampai tiga bulan, satu perusahaan kapal ikan bisa mengumpulkan sekitar 4 ton ikan. Selain membeli ikan hasil tangkapan nelayan, dalam praktiknya mereka juga menangkapi ikan di sekitar perairan Wakatobi dengan menggunakan bius,” kata Antang Hasran, mantan pekerja perusahaan kapal ikan asing.

Tiga petugas PHPA, Mustafa, Made, dan Rewangi, dengan satu unit perahu patroli “Anoa” bermesin 85 PK agak kewalahan menjaga perairan Wakatobi seluas 1.390.000 ha, yang sejak 30 Juli 1996 dinyatakan sebagai Taman Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 393/Kpts-VI/1996. Akibatnya, kawanan pencuri ikan bermain kucing-kucingan dengan petugas. Repotnya lagi, para pencuri konon dibeking oknum yang mestinya turut menjaga kelestarian kawasan itu.

Akan menjadikan Wakatobi sebagai kawasan wisata selam berkelas dunia, tinggal tunggu waktu!

dari : indomedia.com/intisari/1997/jan

rumah